NU, POLITIK NALAR WARAS, DAN “TENDANGAN
PINALTI”
Sejak ditabuh genderang pilkada DKI 2017, praktis umat islam Indonesia
terutama NU, terpolarisasi menjadi dua kutub yang berbeda. Sebagian mendukung petahana Basuki untuk
memimpin kembali DKI lima tahun mendatang dan banyak pula yang memaksa untuk
berhenti dan tidak akan memilihnya menjadi gubernur DKI. Dua kutub tersebut
seolah bertolak belakang secara vulgar, tapi jika ditilik dalam kacamata yang
berbeda maka keduanya mempunyai alasan yang bisa dinalar.
Dalam hal ini, saya akan menganalisis cara pandang NU dalam
pilkada DKI. Sebagaimana diketahui sebelumnya, K.H Said Aqil Siraj sebagai
ketua umum tanfidiah dalam beberapa kali komentar seolah mendukung Basuki,
sementara itu K.H Maruf Amin sebagai Rois Syuriah jelas menolak Basuki sebagai
Gubernur DKI yang akan datang. Kedua tokoh NU tersebut nampak berbeda pendapat
namun jika melihat konteksnya maka akan jelas berbeda. Kiai Said melihat
konteks kebangsaan dan keseimbangan bernegara, sementara Kiai Maruf melihat
dalam kacamata fikih. Dalam posisi ini, kubu Basuki merasa sumringah dan jumawa
karena mendapat “dukungan” dari Kiai Said. Pada saat bersamaan, kubu Islam yang
menolak Basuki mencela dan menghujat kiai Said. Dalam pandangan saya, kiai Said
itu keren, beliau sebenarnya punya sikap ke dalam dan sikap ke luar. Sikap ke
dalam sudah barang tentu mendukung perjuangan Islam, tapi sikap ke luar sebagai
tokoh ormas terbesar harus memosikan diri sebagai penjaga bangsa sehingga
kalimat-kalimatnya yang penting ditujukan pada keutuhan bangsa. Apa yang terjadi jika secara terbuka Kiai Said
mengatakan mendukung perjuangan Islam dan menolak Basuki? Bisa dibayangkan
kericuhannya.
Seiring perjalanan waktu, nampaknya peran FPI akan semakin
berkurang. Bukan karena tidak berjuang lagi, tapi posisinya kini dikendalikan
NU. Entah doa dari siapa, entah jalan dari mana, tiba-tiba persis di hari
kelahiran NU dan sidang terdakwa Basuki ada kejadian luar biasa yang menimpa
Basuki sekaligus hadiah untuk NU di ulang tahun ke- 91. Ancaman dan hardikan
Basuki di sidang lanjutan itu membuka tabir betapa emosionalnya Basuki terhadap Kiai Maruf yang saat itu menjadi
saksi sebagai ketua MUI. Mungkin karena penjelasannya yang gamblang dan runtut,
ahli fikih ini mampu memompa jantung Basuki dan tim pengacara berdenyut kencang.
Sontak, warga NU tidak terima atas
perlakuan Basuki dan pengacaranya terhadap kiai Maruf. Bukan sembarang, tokoh
besar yang biasa diam seperti Mahfudz MD, berteriak kencang mengecam perlakuan
Basuki terhadap Kiai Maruf. Basuki dan timnya tidak menduga reaksi keras nahdhiyyin
benar-benar mengancamnya. Ternyata rois amm lebih berpengaruh daripada ketua tanfidiah.
Selama ini, tim Basuki merasa sudah aman dengan NU karena sikap ketua umum
PBNU. NU yang selama ini friendly, justru berbalik arah mengecam. Yang aneh
bagi penulis sebenarnya mereka yang mengaku NU, nalar politiknya sudah usang. Di
tengah warga NU yang mengecam Basuki, bahkan tim sukses Basuki seperti MGR, NW,
mengakui kesalahan Basuki, justru beberapa orang yang mengaku NU malah
menyudutkan kiai Maruf. Nalar yang jalan harusnya membela atau minimal diam.
Ibarat permainan bola, umat Islam ini punya peran
masing-masing, ada yang menjadi striker, sayap, dan sebagianya. Dalam skema
itu, selama ini NU mendapat tugas menjadi kiper bangsa dan negara. NU menjadi
benteng terakhir NKRI. NU tidak ukut-ikutan dalam percaturan politik di DKI. Tapi
di saat injury time, kartu merah Basuki, akan menjadi tendangan pinalty
untuk NU. Dan ini sudah pasti menguntungkan pasangan calon lain. Jika sudah
panik apapun akan dilakukan termasuk menggunakan NU untuk acara-acara sendiri
agar terkesan bahwa NU mendukung salah satu pasangan calon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar