Etika Belajar dan Belajar Etika
Akhmad Muslik
Ada
pepatah yang sering kita dengar “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Barangkali pepatah ini menjadi lampu kuning bagi seorang guru agar berhati-hati dalam
mendidik dan mengajar. Sekali melakukan satu tindakan maka dengan sangat mudah
siswa bisa meniru bahkan lebih dari apa yang dilakukan guru. Memang, tugas guru
mulia, saking mulianya ada beban berat yang harus dipikul guru. Bukan sekedar mendidik,
mengajar pengetahuan yang hanya memindahkan ilmu dari satu pikiran ke pikiran
yang lain, dari satu kepala ke kepala yang lain, tetapi lebih dari itu. Guru
dituntut agar mengubah perilaku siswa, dalam arti yang lebih jauh nilai yang
terkandung dalam pendidikan mampu diterjemahkan siswa untuk mengubah
perilakunya, itulah hakikat belajar, perubahan tingkah laku.
Kalau
mau jujur, seringkali kita temui tindakan anak-anak muda yang belakangan ini
tanpa dipikir panjang. Sebut saja beragam tindakan anarkis, tawuran pelajar,
tawuran suporter, pergaulan bebas, narkoba sampai hal yang paling “sederhana”
kecurangan UN bahkan dari hasil catatan kepolisian pelaku bom bunuh diri juga
terbanyak dari kalangan usia 16 – 31 tahun. Memang ironis, di tengah-tengah
masyarakat bangsa kita yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, tak pelak
belum mampu meredam, mengeliminir kecenderungan anak bangsa bertindak yang
semena-mena. Di luar itu semua, meski masalah kenakalan remaja tidak berbanding lurus dengan islam tetapi islam
telah banyak memberikan gambaran bagaimana muslim yang baik berbuat dan
bergaul, bagaimana muslim harus belajar, dan apa yang harus dipelajari terlebih
dahulu. Andaipun cara-cara pendidikan (pembelajaran) islam diterapkan tentu
tidaklah kemudian segalanya berubah menjadi baik, tetapi paling tidak dapat
menekan angka yang tinggi atas “kenakalan” itu.
Sebagai
seorang yang pernah belajar di pondok pesantren, nyantri, penulis cukup terkejut ketika melihat proses pembelajaran
yang sering berlangsung di kebanyakan lembaga pendidikan kita. Kurangnya
tahapan transendental secara vertikal kepada al-kholik, kesadaran penempaan
diri (riyadhoh), dari murid dan guru, ditambah lagi kegigihan peserta belajar
yang menurun, barangkali menjadi dominan atas keterpurukan pembentukan karakter
bangsa melaui karakter generasi penerus, yakni siswa. Oleh karena itu, saya
kira perlu ada gebrakan yang revolusioner atas pendidikan kita, dan ini
(gebrakan pendidikan) tengah digencarkan dan menjadi bahan pembicaraan di
tengah praktisi pendidikan yakni pendidikan berkarakter. Pendidikan berkarakter
merujuk pada kejadian-kejadian yang belakangan sering menimpa kalangan muda
Indonesia.(bersambung)