DI SEPANJANG GARIS KEJADIAN, ADA TITIK YANG JARANG KITA JADIKAN LINGKARAN HIKMAH BAHKAN SELALU DIANGGAP SEBAGAI KURVA KETIDAKADILAN***KADANGKALA ALLAH MEMBUKA PINTU HIDAYAH HAMBANYA MELALUI MAKSIATNYA

Selasa, 17 April 2012

Etika Belajar dan Belajar Etika


Etika Belajar dan Belajar Etika
Akhmad Muslik 

Ada pepatah yang sering kita dengar “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Barangkali pepatah ini menjadi lampu kuning  bagi seorang guru agar berhati-hati dalam mendidik dan mengajar. Sekali melakukan satu tindakan maka dengan sangat mudah siswa bisa meniru bahkan lebih dari apa yang dilakukan guru. Memang, tugas guru mulia, saking mulianya ada beban berat yang harus dipikul guru. Bukan sekedar mendidik, mengajar pengetahuan yang hanya memindahkan ilmu dari satu pikiran ke pikiran yang lain, dari satu kepala ke kepala yang lain, tetapi lebih dari itu. Guru dituntut agar mengubah perilaku siswa, dalam arti yang lebih jauh nilai yang terkandung dalam pendidikan mampu diterjemahkan siswa untuk mengubah perilakunya, itulah hakikat belajar, perubahan tingkah laku.
Kalau mau jujur, seringkali kita temui tindakan anak-anak muda yang belakangan ini tanpa dipikir panjang. Sebut saja beragam tindakan anarkis, tawuran pelajar, tawuran suporter, pergaulan bebas, narkoba sampai hal yang paling “sederhana” kecurangan UN bahkan dari hasil catatan kepolisian pelaku bom bunuh diri juga terbanyak dari kalangan usia 16 – 31 tahun. Memang ironis, di tengah-tengah masyarakat bangsa kita yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, tak pelak belum mampu meredam, mengeliminir kecenderungan anak bangsa bertindak yang semena-mena. Di luar itu semua, meski masalah kenakalan remaja tidak  berbanding lurus dengan islam tetapi islam telah banyak memberikan gambaran bagaimana muslim yang baik berbuat dan bergaul, bagaimana muslim harus belajar, dan apa yang harus dipelajari terlebih dahulu. Andaipun cara-cara pendidikan (pembelajaran) islam diterapkan tentu tidaklah kemudian segalanya berubah menjadi baik, tetapi paling tidak dapat menekan angka yang tinggi atas “kenakalan” itu.
Sebagai seorang yang pernah belajar di pondok pesantren, nyantri, penulis cukup terkejut ketika melihat proses pembelajaran yang sering berlangsung di kebanyakan lembaga pendidikan kita. Kurangnya tahapan transendental secara vertikal kepada al-kholik, kesadaran penempaan diri (riyadhoh), dari murid dan guru, ditambah lagi kegigihan peserta belajar yang menurun, barangkali menjadi dominan atas keterpurukan pembentukan karakter bangsa melaui karakter generasi penerus, yakni siswa. Oleh karena itu, saya kira perlu ada gebrakan yang revolusioner atas pendidikan kita, dan ini (gebrakan pendidikan) tengah digencarkan dan menjadi bahan pembicaraan di tengah praktisi pendidikan yakni pendidikan berkarakter. Pendidikan berkarakter merujuk pada kejadian-kejadian yang belakangan sering menimpa kalangan muda Indonesia.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar