Di kesempatan awal ramadhan 1439 H ini saya ingin berbagi
tulisan tentang nikmat Allah yang kita terima begitu besar sekaligus mencoba
menghitungya dengan matematika. Hitungan ini hanya sebagai alat untuk mempertegas
tentang ayat yang dimaksud sekaligus menambah kesadaran kita sebagai hambaNya
yang harus senantiasa bersyukur.
Sebelumnya, saya mohon maaf pada guru-guru dan teman-teman
saya yang mungkin lebih paham bahasa arab dan kaidahnya. Saya hanya meraba-raba
sedikit pengetahuan yang saya miliki dan kiranya membuka maklum atas apa yang
saya tulis jika terjadi kesalahan. Satu lagi, kalau ada masukan japri aja
ya...xixixi
Ketika saya lulus MA (Madrasah Aliyah), acara lepas tasyakur
yang biasa dilakukan oleh madrasah-madrasah pasca ujian nasional, latar
acaranya bertuliskan “وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ
لَغَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ”, artinya
kurang lebih “jika kamu menghitung/menyebut (mencacah) nikmat Allah maka tidak
akan bisa dihitung jumlahnya, tak berhingga”(QS. AnNahl: 18).
Sedikit saya urai ayat itu dalam pandangan nahwu dan shorof.
Bahwa kata تَعُدُّوا memiliki
akar kata عد. Saya ingat sekali, kata ini juga sewazan
dengan “madda”, “yamuddu”. Kalau dibahas lebih jauh “madda” itu bina mudho’af. Dalam
kamus Al-Munawwir, عد searti dengan hasiba
dan ahso yaitu menghitung. Ahso sendiri dalam masyarakat Cina sebagai
alat untuk menghitung. Kembali ke kata “madda”, تَعُدُّوا adalah bentuk fiil mudhori dengan
mukhotobnya “kalian”. Fiil mudhori (present tense/ continous tense) boleh
dilakukan berulang pada saat ini. Maksudnya, ayat itu menunjukan bahwa silakan
kita terus melakukan hitungan (mencacah) kapanpun, saat inipun. Saya lebih suka
menggunakan arti “mencacah” agar lebih mudah untuk menghitung. Dalam
matematika, ada dua istilah populer bilangan, yaitu diskret dan kontinu.
Diskret berarti dapat dihitung dengan mencacah, dengan tangan. Adapun kontinu
adalah pekat, bilangannya tidak bisa dihitung dengan tangan, misal 1,2234 dan
seterusnya. Kontinu itu mirip bilangan riil, atau bahasa sederhananya
pecahan-pecahan (meski tidak begitu tepat).
Jadi seolah-olah ayat itu ingin mengajak kita semua untuk
mencacah saja, tidak perlu dengan bilangan riil yang sulit, cukup dengan
menghitung menggunakan jari. Yang dicacah adalah nikmat Allah. Kata “nikmat”
juga unik, mengapa menggunakan kata dasar tunggal, bukan “niam” jamak dari kata
nikmat. Hal ini juga membuka kesadaran kita bahwa Allah swt memberikan
kesempatan kepada kita untuk menghitung (dengan jari) satu nikmat saja yang
Allah berikan. Sanggupkah? padahal sudah dimudahkan dengan hitungan diskret.
Sekarang saya mencoba menjelaskan penghitungan satu nikmat
saja dengan matematika. sebelum saya bahas lebih jauh, paling awal kita akan
sepakat dulu dengan istilah “nikmat”. Nikmat itu apa? Pembahasan kali ini, saya
tidak mengartikan nikmat sebagai kata sifat, tetapi digunakan sebagai kata
benda, yaitu pemberian Allah (KBBI online).
Nikmat Allah dapat berupa fisik dan nonfisik. Agar lebih
mudah, penghitungan nikmat ini juga dibatasi pada bentuk fisik. Nikmat fisik
ini lebih mudah dihitung daripada nonfisik. Sekarang, kita breakdown
lagi nikmat fisik yang lebih mudah lagi yaitu nikmat yang ada dalam diri kita.
Mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, dan banyak lagi. Dari mata, kita
bisa buka lagi nikmat yang lain yaitu bagian-bagian mata misal pupil, retina,
kornea, saraf, alis, bulu mata dan sebagainya. Di dalam retina, misalnya,
terdapat syaraf-syaraf dan sel-sel lagi yang lebih kecil. Andaikan sel yang
terkecil dari yang terkecil itu diberi simbol (baca: epsilon). Epsilon biasanya
melambangkan bilangan terkecil positif yang mendekati nol. Epsilon bisa kita
ilustrasikan sebagai sel yang terkecil dari yang terkecil tadi. Jika manusia
hidup dari pertama kali ditiupkan ruh sampai ajal menjemput berarti kita bisa
membuat interval waktu (t) sebagai 0 < t < .
Hubungan antara waktu (t) dan kehidupan manusia dapat
dilukiskan secara grafis sebagi sebuah fungsi.
Andaikan luas di bawah kurva adalah luas nikmat sel terkecil
kehidupan setiap orang. Ingat luas sel terkecil (Epsilon). Kurva nampak
bergelombang tidak linier, karena memang kehidupan tidak selalu monoton, tidak
selalu bahagia atau sedih, tidak selalu konstan. Sekarang kita akan menghitung
luas daerah sel terkecil tersebut di bawah kurva. Menggunakan Riemann Sum, kita
bisa menghitung luas daerah di bawah kurva meski batas atasnya tidak beraturan.
Riemann sum merupakan metode menghitung luas kurva dengan cara membuat
partisi-partisi yang membentuk persegi panjang atau trapesium. Semakin banyak
partisi, tingkat kesalahannya semakin kecil.
Menghitung luas daerah yang dibatasi oleh a < t < b,
kita hanya menghitung dengan batas a dan b yangmerupakan sebagian
dari waktu kehidupan seseorang, menggunakan rumus integral sebagai berikut.
Jika dalam satu sel terkecil saja mendapatkan satu rumus
integral, maka integral rangkap berapa untuk menghitung satu syaraf dalam satu
komponen retina. Boleh jadi untuk satu sel saja didapat rumus intergral.
Padahal dalam syaraf terdapat sel-sel, lalu berapa rangkap
untuk satu syaraf. Lebih jauh lagi intergral rangkap berapa untuk satu nikmat
retina? TIDAK BISA DIHITUNG, itu baru retina, belum bagian mata yang lain. Oleh
karena itu, benarlah ayat Alquran sebagaimana dijelaskan di depan.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar