DI SEPANJANG GARIS KEJADIAN, ADA TITIK YANG JARANG KITA JADIKAN LINGKARAN HIKMAH BAHKAN SELALU DIANGGAP SEBAGAI KURVA KETIDAKADILAN***KADANGKALA ALLAH MEMBUKA PINTU HIDAYAH HAMBANYA MELALUI MAKSIATNYA

Selasa, 12 Februari 2019

INTEGRAL : CARA MENGHTUNG NIKMAT ALLAH SWT


Di kesempatan awal ramadhan 1439 H ini saya ingin berbagi tulisan tentang nikmat Allah yang kita terima begitu besar sekaligus mencoba menghitungya dengan matematika. Hitungan ini hanya sebagai alat untuk mempertegas tentang ayat yang dimaksud sekaligus menambah kesadaran kita sebagai hambaNya yang harus senantiasa bersyukur.
Sebelumnya, saya mohon maaf pada guru-guru dan teman-teman saya yang mungkin lebih paham bahasa arab dan kaidahnya. Saya hanya meraba-raba sedikit pengetahuan yang saya miliki dan kiranya membuka maklum atas apa yang saya tulis jika terjadi kesalahan. Satu lagi, kalau ada masukan japri aja ya...xixixi
Ketika saya lulus MA (Madrasah Aliyah), acara lepas tasyakur yang biasa dilakukan oleh madrasah-madrasah pasca ujian nasional, latar acaranya bertuliskan “وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ”, artinya kurang lebih “jika kamu menghitung/menyebut (mencacah) nikmat Allah maka tidak akan bisa dihitung jumlahnya, tak berhingga”(QS. AnNahl: 18).
Sedikit saya urai ayat itu dalam pandangan nahwu dan shorof. Bahwa kata تَعُدُّوا memiliki akar kata  عد. Saya ingat sekali, kata ini juga sewazan dengan “madda”, “yamuddu”. Kalau dibahas lebih jauh “madda” itu bina mudho’af. Dalam kamus Al-Munawwir, عد searti dengan hasiba dan ahso yaitu menghitung. Ahso sendiri dalam masyarakat Cina sebagai alat untuk menghitung. Kembali ke kata “madda”, تَعُدُّوا adalah bentuk fiil mudhori dengan mukhotobnya “kalian”. Fiil mudhori (present tense/ continous tense) boleh dilakukan berulang pada saat ini. Maksudnya, ayat itu menunjukan bahwa silakan kita terus melakukan hitungan (mencacah) kapanpun, saat inipun. Saya lebih suka menggunakan arti “mencacah” agar lebih mudah untuk menghitung. Dalam matematika, ada dua istilah populer bilangan, yaitu diskret dan kontinu. Diskret berarti dapat dihitung dengan mencacah, dengan tangan. Adapun kontinu adalah pekat, bilangannya tidak bisa dihitung dengan tangan, misal 1,2234 dan seterusnya. Kontinu itu mirip bilangan riil, atau bahasa sederhananya pecahan-pecahan (meski tidak begitu tepat).
Jadi seolah-olah ayat itu ingin mengajak kita semua untuk mencacah saja, tidak perlu dengan bilangan riil yang sulit, cukup dengan menghitung menggunakan jari. Yang dicacah adalah nikmat Allah. Kata “nikmat” juga unik, mengapa menggunakan kata dasar tunggal, bukan “niam” jamak dari kata nikmat. Hal ini juga membuka kesadaran kita bahwa Allah swt memberikan kesempatan kepada kita untuk menghitung (dengan jari) satu nikmat saja yang Allah berikan. Sanggupkah? padahal sudah dimudahkan dengan hitungan diskret.
Sekarang saya mencoba menjelaskan penghitungan satu nikmat saja dengan matematika. sebelum saya bahas lebih jauh, paling awal kita akan sepakat dulu dengan istilah “nikmat”. Nikmat itu apa? Pembahasan kali ini, saya tidak mengartikan nikmat sebagai kata sifat, tetapi digunakan sebagai kata benda, yaitu pemberian Allah (KBBI online).
Nikmat Allah dapat berupa fisik dan nonfisik. Agar lebih mudah, penghitungan nikmat ini juga dibatasi pada bentuk fisik. Nikmat fisik ini lebih mudah dihitung daripada nonfisik. Sekarang, kita breakdown lagi nikmat fisik yang lebih mudah lagi yaitu nikmat yang ada dalam diri kita. Mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, dan banyak lagi. Dari mata, kita bisa buka lagi nikmat yang lain yaitu bagian-bagian mata misal pupil, retina, kornea, saraf, alis, bulu mata dan sebagainya. Di dalam retina, misalnya, terdapat syaraf-syaraf dan sel-sel lagi yang lebih kecil. Andaikan sel yang terkecil dari yang terkecil itu diberi simbol (baca: epsilon). Epsilon biasanya melambangkan bilangan terkecil positif yang mendekati nol. Epsilon bisa kita ilustrasikan sebagai sel yang terkecil dari yang terkecil tadi. Jika manusia hidup dari pertama kali ditiupkan ruh sampai ajal menjemput berarti kita bisa membuat interval waktu (t) sebagai 0 < t < .
Hubungan antara waktu (t) dan kehidupan manusia dapat dilukiskan secara grafis sebagi sebuah fungsi.


 
Andaikan luas di bawah kurva adalah luas nikmat sel terkecil kehidupan setiap orang. Ingat luas sel terkecil (Epsilon). Kurva nampak bergelombang tidak linier, karena memang kehidupan tidak selalu monoton, tidak selalu bahagia atau sedih, tidak selalu konstan. Sekarang kita akan menghitung luas daerah sel terkecil tersebut di bawah kurva. Menggunakan Riemann Sum, kita bisa menghitung luas daerah di bawah kurva meski batas atasnya tidak beraturan. Riemann sum merupakan metode menghitung luas kurva dengan cara membuat partisi-partisi yang membentuk persegi panjang atau trapesium. Semakin banyak partisi, tingkat kesalahannya semakin kecil.

 
Menghitung luas daerah yang dibatasi oleh a < t < b, kita hanya menghitung dengan batas a dan b yangmerupakan sebagian dari waktu kehidupan seseorang, menggunakan rumus integral sebagai berikut.
Jika dalam satu sel terkecil saja mendapatkan satu rumus integral, maka integral rangkap berapa untuk menghitung satu syaraf dalam satu komponen retina. Boleh jadi untuk satu sel saja didapat rumus intergral.
Padahal dalam syaraf terdapat sel-sel, lalu berapa rangkap untuk satu syaraf. Lebih jauh lagi intergral rangkap berapa untuk satu nikmat retina? TIDAK BISA DIHITUNG, itu baru retina, belum bagian mata yang lain. Oleh karena itu, benarlah ayat Alquran sebagaimana dijelaskan di depan.
Wallahu a’lam
Subhanallah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar